Like dan Harga Diriku
Likes
dan Harga Diriku
Namaku Anya. Aku siswi kelas 8 di sebuah SMP
favorit di kota ini. Dari luar, mungkin hidupku tampak sempurna. Kedua orang tuaku cukup terpandang di kotaku,
Ayahku seorang kepala Cabang Bank swasta ternama dan Ibuku sebagai anggota
dewan di daerahku. Aku sendiri cukup
terkenal di sekolah bukan karena
popularitas kedua orang tuaku namun karena aku termasuk salah satu murid
berprestasi, aku sering mengikuti berbagai ajang kompetisi baik di sekolah
maupun di tempat lain.Baik yang dilaksanakan secara luring maupun daring dan
tak jarang aku menjadi juara, aku sering tampil dalam berbagai lomba mulai dari lomba baca puisi, pidato,
dan juga story telling, dan yang membuat aku lebih popular adalah karena aku
juga aktif di media sosial sebagai konten
creator dan jujur saja aku punya banyak follower. Setiap kali aku mengunggah
foto atau video, puluhan bahkan ratusan likes bermunculan dalam hitungan menit.
Tapi di balik semua itu, aku sering merasa ada
yang salah, terkadang rasa Lelah menyergap perasaanku tanpa aku kenali dan
tentu saja tak bisa aku ungkapkan.
Terkadang aku merasa seperti aku hidup
untuk validasi dari orang lain, aku harus selalu jaga imej agar penggemarku
setia memberiku likes dan komentar positif bahkan terkadang aku tak bisa
menjadi diriku sendiri. Setiap pagi aku memikirkan angle foto yang tepat,
kata-kata yang paling bisa menyentuh emosi, dan filter yang bisa menyembunyikan
kelelahan di wajahku. Ya benar sekali ternyata kelelahan yang aku rasakan di
hatiku terpampang nyata di wajahku, meski aku berusaha menapikan rasa itu tapi
tanpa aku sadari Ia terus tumbuh dan berkembang menggerogoti jiwa dan
pikiranku, Aku bahkan tak sadar kapan
terakhir kali aku tertawa tanpa berpikir, "Apakah ini pantas untuk
diunggah?"
Teman-temank atau orang-orang yang mengaku teman selalu
berkata, "Wah, Anya hidupnya enak banget, sudah orang tuanya kaya, Ia juga
terkenal karena berbagai prestasi yang diraihnya dan yang lebih penting cuan
yang diterima Anya juga dari profesinya sebagai youtober lumayan banyak!" Sungguh mereka tak pernah tahu, betapa menderitanya
aku dan betapa sering aku merasa hampa
ketika satu unggahan tak mendapatkan jumlah likes seperti biasanya atau seperti
yang kuinginkan. Pernah suatu kali, aku menghapus sebuah foto di medsosku hanya karena responsnya sedikit. Bukan karena
fotonya buruk, tapi karena yang ngelikes aku tak sesuai dengan harapanku aku
merasa tidak cukup dihargai bahkan merasa tak berharga.
Masalahnya memuncak saat aku ikut dalam lomba
menulis esai tingkat provinsi. Aku menang—juara dua. Tapi saat aku
membagikannya di media sosial, postinganku tak seramai biasanya. Seorang teman
bahkan berkomentar, "Kok gak seru sih, lebih suka video TikTok-mu
deh." Bahkan beberapa komentar lebih pahit dan menyakitkan alih-alih
memuji kemampuanku malah mengolok-olok aku dengan kata-kata yang sangat tak
pantas dan membuat aku sakit hati.
Saat
itu aku merasa duniaku runtuh seketika dan aku terjerembab ke dalam jurang yang
sangat dalam aku kecewa, stress berat bahkan mungkin defresi berbagai gejala
muncul mulai dari aku malas makan, mudah lelah, sakit kepala atau sakit perut tanpa
sebab medis yang jelas dan Gangguan tidur aku mengalami sulit tidur.aku juga
lebih seing tak mampu mengelola emosi, mudah marah dan tersinggung,terkadang
merasa cemas berlebihan, perasaan yang tak tenang dan sulit focus.Bahkan tanpa
aku sadari aku menjadi mudah marah, menarik diri dari berbagai aktivitas yang
aku sukai, sering mengalami gangguan focus pada saat belajar, Kehilangan minat
pada hal-hal yang biasanya menyenangkan, Menarik diri dari teman dan keluar dari
lingkaran pergaulanku Perubahan drastis dalam pola tidur dan makan, Sulit
menjalani kehidupan sehari-hari, seperti sekolah atau pertemanan, Lebih sering
menyendiri, tidak merespons pesan atau ajakan karena Ketergantungan pada validasi eksternal
(likes, komentar, pengakuan sosial
Untuk apa aku juara dua tingkat provinsi kalau
tak banyak yang like dan memberi komentar positif, aku sangat berharap komentar
yang muncul itu ” mantap” , atau “kamu kereen, kamu hebat” mengapa aku sangat prustasi ? karena aku merasa harga diriku seperti digantungkan
pada notifikasi dan komentar orang lain. Padahal aku bekerja keras untuk lomba
menulis esai itu. Aku begadang, membaca banyak buku, berdiskusi dengan guru,
dan yang terpenting aku menuangkan isi pikiranku dengan sepenuh hati. Tapi seolah semua yang telah aku lakukan tak
berarti dan sia-sia jika tak mendapat
cukup perhatian dari orang lain.
Hari masih sangat pagi, dinginnya udara masih terasa
menggigit kulit saat aku dengan tergesa-gesa berangkat ke sekolah, kulirik
denganujung mataku Mama dan Papa di meja makan sedang sarapan, Aku menghampiri
mereka tanpa berkata-kata kusalami dan kucium punggung tangan mereka untuk
pamitan.
“Anya gak sarapan dulu sayang?’ tegur Mamaku.
“Nggak lapar Ma, aku buru-buru ya Ma, Pa,
Assalamualaikum” Ucapku setengah berlari, Sesampainya di sekolah aku bergegas
mencari pojok yang sunyi di perpustakaan, aku pura-pura baca buku agar tak
banyak teman yang menyapa dan memperhatikanku.
“Anya, kamu baik-baik saja kan Nak ?” Sapa Bu
Ratna guru Bahasa Indonesia sekaligus kepala perpustakaan sambil menghampiriku,
tanganya menepuk pundakku lembut. Tapi aku kaget sekali.
“Kalau Anya merasa tidak baik-baik saja, dan Anya
percaya sama Ibu, Anya boleh cerita Ibu siap mendengarkan. Beberapa hari
terakhir ini Ibu melihat Anya sepertinya beda dari biasanya”Ujarnya dengan nada
lembut.
Aku tak menjawab tapi aku tahu ada yang meleleh
di sudut mataku,”Aku…Aku mau cerita tapi tidak tahu harus mulai dari
mana?”Akhirnya suaraku keluar juga dengan terbata-bata.
“Oh, Ibu paham, Bisa Anya mulai dari bagaimana
perasaan Anya saat ini?
“ Aku merasa sedih banget Bu, aku merasa
bersalah,putus asa,dan aku merasa tidak berharga”
“ Wah, berat banget sayang, boleh ceritakan sama
Ibu peristiwa apa yang membuat Anya sampai merasa seperti itu? Tanya Bu Raatna
lagi dengan sabar.
“Waktu aku dapat juara menulis essai tingkat
provinsi itu Bu”
“ Lho, itu kan moment yang membanggakan, harusnya
Anya senang dong”
“ Ya aku juga senang Bu, bahkan sangat senang
makanya moment itu aku unggah di medsosku, kujadikan feed di IG,di youtobku”
“O, ya lalu… Ibu udah like IG dan youtobemu “
“Tapi yang like Cuma sedikit Bu, bahkan yang
komentar positif juga sangat sedikit, Sebagian temanku malah tidak suka. Aku putus asa.Saking prustasinya Aku sampai
tak bisa makan, mulai menarik diri.
Mengurangi unggahan. Menghapus aplikasi media sosial dari ponselku. Hatiku terasa kosong, dan jiwaku hampa seperti
kehilangan sebagian identitasku. “Aku bercerita seperti
setengah sadar.
“Ok,
Anya Ibu sangat memahami apa yang Anya rasakan, tapi Ibu rasa Anya anak yang
cerdas apa yang Anya lakukan seperti menghapus aplikasi medsos untuk sementara
dan mau bercerita kepada Ibu hari ini, itu sudah merupakan Langkah yang tepat,
apakah Anya tidak bercerita kepada Mama atau Papa di rumah?
“Nggak
Bu, aku takut Mama dan Papa marah karena Anya cengeng, Mama dan Papa selalu
menginginkan Anya jadi anak yang kuat Bu”
“Kesan
anak yang hebat dan kuat tidak akan gugur hanya karena Anya menceritakan
perasaan Anya dengan jujur kepada mereka, Ibu yakin Mama dan Papa Anya paham
bahwa hidup ini tidak mudah dan banyak masalah yang bisa kita selesaikan dengan
solusi yang sederhana, misalnya diskusi dengan orang-orang yang kita kasihi,
seperti Mama dan Papamu.
“Tapi
Bu, Mama dan Papaku kan sangat sibuk,aku tak mau mengganggu mereka”
“Anya,
Mama dan Papamu sibuk karena sedang mempersiapkan masa depanmu yang lebih baik,
jadi yakinlah bahwa kamu itu permata yang sangat berharga bagi mereka, tak
mungkin Mama dan Papamu membiarkan kamu terluka sendirian, Ibu yakin sesibuk
apapun mereka pasti mereka akan menomorsatukan Anya”
Aku
terdiam terbayang tatapan Mama tadi pagi menatapku dengan penuh curiga, “Baik
Bu, aku kan berbicara sama Mama dan Papa nanti” jawabku.
“Bagaimana
perasaan Anya saat ini setelah bercerita sama Ibu?”
“Alhamdulilah
lega Bu” tanpa sadar aku memeluk Bu Ratna sambal berbisik “Terima kasih
Bu"
“Anya,
dari pembicaraan tadi bisa Anya sampaikan kepada Ibu, apa sebenarnya yang
membuat Anya menderita padahal Anya layak untuk Bahagia dan merasa diri Anya
berharga?”
“ Aku
termenung sejenak, lalu dengan senyuk kecil aku menjawab percaya diri, karena
aku menempatkan harga diridan kebahagiaanku pada like, dan komentar orang lain
Bu”
“
Sekarang setelah Anya tahu apa yang akan Anya lakukan?”
“Tentu
saja aku kan menjadi diriku sendiri, focus pada pengembangan diriku tanpa harus
menunggu like ataupun komentar dari orang lain”
“ Anya
memang anak yang cerdas, Ibu sudah tahu kalau Anya mampu menyembuhkan diri
sendiri tanpa bantuan orang lain”
“Apalagi
yang akan Anya lakukan? Jika Ibu siapkan ruang aman dan ruang berbagi maukah
Anya berbagi cerita dengan teman-temanmu? Karena Ibu yakin Anya tidak sendirian,
bahkan bisa jadi di luar sana banyak teman-temanmu yang mengalami masalah yang
sama dengan Anya, bahkan bisa jadi lebih parah bisakah Anya mengisi acara sesi
berbagi tentang Kesehatan mental?.”
Tawaran Bu Ratna untuk mengisi sesi tentang
kesehatan mental dan media sosial di kelas-kelas adik kelas. Aku ragu. Tapi
kemudian aku sadar, mungkin inilah cara terbaik untuk memulihkan diriku—dengan
jujur dan berbagi.
Di depan kelas, aku bicara dengan tenang,
"Dulu aku pikir nilai diriku ada di jumlah likes. Tapi ternyata, itu hanya
ilusi. Harga diriku tak ditentukan oleh seberapa sering aku muncul di layar
orang lain, tapi seberapa dalam aku mengenal dan menerima diriku sendiri."
Beberapa siswa menangis. Beberapa berani
bertanya. Sejak itu, aku mulai melihat media sosial bukan sebagai panggung
untuk pamer, tapi ruang untuk berkisah. Sekarang, aku hanya unggah jika aku
benar-benar ingin. Dan aku tak peduli apakah akan disukai atau tidak. Karena
sekarang, aku yang menentukan nilai diriku, bukan layar ponsel ataupun komentar
orang lain.
Dan mungkin, itulah salah satu kemenangan terbesarku sebagai remaja. Perlahan aku mulai merasa bebas. Aku menulis lagi, tapi kali ini hanya untuk diriku sendiri. Aku membaca tanpa perlu memotret halaman dan menulis kutipan bijak untuk orang lain
Komentar
Posting Komentar