Kesabaran yang Menyala
Cerpen: Kesabaran yang Menyala
Hari itu, suasana kantor sedang tenang. Semua orang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Aku duduk di meja, fokus menyelesaikan laporan yang harus dikirim sore ini. Tiba-tiba, suara keras terdengar dari meja sebelah.
“Kenapa file ini nggak ada?!” teriak Raka sambil membanting map ke meja. Semua orang sontak menoleh. Aku hanya menarik napas dalam-dalam. Aku sudah terbiasa dengan ledakan emosinya.
“Raka, aku punya salinan file itu. Kalau mau, nanti aku kirim,” ucapku pelan.
Namun bukannya tenang, Raka malah mendengus. “Selalu aku yang disalahin! Padahal aku kerja paling keras di sini. Orang lain enak, tinggal nyalahin aku!” katanya dengan suara meninggi, seolah-olah seluruh dunia berkonspirasi melawannya.
Aku menahan diri untuk tidak terpancing. Sambil tersenyum kecil, aku menjawab, “Nggak ada yang nyalahin kamu, Rak. Justru kita saling melengkapi. Aku kirim filenya sekarang ya, biar pekerjaanmu lancar.”
Beberapa rekan kerja lain saling pandang. Mereka tahu, hampir setiap kali ada masalah, Raka selalu meledak, lalu berperan sebagai korban. Dan hampir setiap kali, aku yang memilih untuk diam atau mengalah.
Bukan karena takut. Tetapi karena aku sadar, melawan api dengan api hanya akan membuat semuanya terbakar.
Hari-hari berikutnya pun serupa. Kadang Raka marah karena hal kecil: printer macet, kopi habis, bahkan ketika lampu mati sebentar. Dia akan berteriak, membanting barang, lalu menuduh orang lain tidak peduli.
Aku tetap konsisten bersikap tenang. Jika Raka menuduh, aku menjawab dengan logis. Jika dia membentak, aku menatap dengan mata teduh sambil mengembalikan percakapan ke arah solusi.
Sampai suatu hari, saat rapat mingguan, atasanku berkata,
“Aku salut dengan cara kamu, Din. Kamu selalu bisa menenangkan suasana, bahkan ketika keadaan memanas. Itu kemampuan yang tidak semua orang punya.”
Aku tersenyum. Bagiku, itu bukan soal menang atau kalah. Tetapi bagaimana menjaga diri agar tidak ikut larut dalam amarah orang lain.
Raka menatapku sekilas. Untuk pertama kalinya, wajahnya tidak menunjukkan kemarahan, melainkan kebingungan. Mungkin, dalam hatinya ia mulai bertanya: mengapa Din tidak pernah meledak, padahal aku selalu menyerangnya?
Aku pun berbisik dalam hati, kesabaran bukan berarti lemah. Justru di situlah aku belajar menang—bukan atas orang lain, tetapi atas diriku sendiri.
Komentar
Posting Komentar