Dusta Membawa Petaka
1.
Dusta
Membawa Petaka
Robi duduk gelisah di bangkunya. Hari ini,
temannya, Reno, menagih utang yang sudah seminggu lalu ia pinjam untuk membeli rokok.
"Rob, mana duitnya? Lo janji hari ini
bayar," bisik Reno saat jam istirahat.
Robi menelan ludah. Ia memang berjanji, tapi belum
punya uang. Uang jajannya sudah habis, dan ia tak berani meminta lagi kepada
ibunya.
"Tolong, kasih gue waktu lagi,"
pinta Robi dengan wajah memelas.
"Nggak bisa, Rob! Gue juga butuh
duit!" Reno bersikeras.
Tiba-tiba, Pak Yanto, wali kelas mereka,
datang dan mengumumkan, "Anak-anak, sehubungan ada temen kita yang sakit
dan sudah seminggu di rumah sakit, bagaimana kalau nanti siang kita nengok biar
temenmu semangat dan cepat sembuh, tapi karena uang kas kelas kita sudah kosong
bagaimana kalau kalian yang iuran,
tenang saja bersedekah tak akan membuat kamu jadi miskin .”
Jantung
Robi berdetak lebih cepat. Sebuah
ide muncul di kepalanya—ide buruk. "Pak, saya izin ke rumah sebentar. Mau
ambil uang buat iuran sumbangan,
boleh?," katanya spontan.
Pak Yanto mengangguk tanpa curiga.
"Jangan lama-lama, ya."
Keluar dari sekolah, Robi bukannya menuju rumah, tapi langsung ke warung
pulsa tempat ibunya bekerja. Dengan hati-hati, ia membuka laci meja kasir. Ada
beberapa lembar uang di sana. Tangannya gemetar saat mengambilnya.
"Nanti aku ganti," bisiknya dalam hati, mencoba menenangkan
rasa bersalahnya.
Dengan uang itu, ia kembali ke sekolah dan
langsung membayar utangnya pada Reno. Selesai. Masalah beres. Atau begitulah
pikirnya.
Namun, masalah baru muncul saat ia pulang.
Ibunya menatapnya tajam begitu ia masuk rumah.
"Rubi, kamu ngambil uang di laci
kasir?" tanyanya dengan suara tegas.
Robi membeku. "E-eh... aku..."
"Tadi ada pelanggan yang mau beli
pulsa, tapi uang kembaliannya kurang. Padahal ibu yakin benar jumlahnya cukup.
Kamu ambil, kan?"
Keringat dingin mengalir di pelipis Robi.
"Ibu nggak marah kalau kamu butuh uang.
Tapi kenapa nggak bilang?" lanjut ibunya.
Robi menunduk. Ia tak tahu harus berkata apa.
"Uang itu buat bayar apa, Nak?"
Robi ingin jujur, tapi ia takut. Akhirnya, ia
berbohong lagi. "Buat bayar iuran sekolah, Bu..."
Ibunya menghela napas panjang. "Kalau
memang buat iuran, kenapa kamu nggak bilang dari awal? Ibu pasti bantu cari
solusi."
Robi menggigit bibirnya. Ia ingin mengatakan
bahwa uang itu sebenarnya untuk membayar utang ke Reno. Tapi ia takut ibunya
semakin kecewa.
Malam itu, Robi tidak bisa tidur. Kebohongan
kecilnya semakin besar. Ia mulai takut, takut kalau ibunya tahu kebenaran,
takut kalau sekolah tahu ia telah berbohong.
KEESOKAN HARINYA
Saat Robi tiba di sekolah, Pak Yanto
memanggilnya ke ruang guru.
"Robi , kemarin kamu bilang mengambil
uang untuk iuran. Tapi ibumu datang tadi pagi dan bilang kalau dia tidak
memberi uang apa pun padamu," kata Pak Yanto dengan tatapan tajam.
Darah Robi berdesir. Ia terdiam.
"Kamu berbohong, kan?" lanjut Pak
Yanto.
Robi menunduk, tak bisa mengelak.
"Ini bukan pertama kalinya kamu
berdusta. Sebelumnya, kamu juga pernah alasan sakit padahal membolos,
kan?"
Robi semakin terpuruk. Kini, bukan hanya ibunya
yang kecewa, tapi gurunya juga.
Saat Robi keluar dari ruang guru, beberapa teman mulai
berbisik-bisik.
"Gue udah curiga dari awal, dia sering
banget alasan," kata Dika.
"Makanya, jangan suka ngutang kalau
nggak bisa bayar," Reno ikut menimpali.
Robi menggigit bibirnya. Bahkan Reno, temannya
sendiri, ikut menjatuhkannya.
Sejak hari itu, Robi tidak masuk sekolah. Malu. Ia merasa semua
mata akan menatapnya dengan curiga.
Di rumah, ibunya mulai curiga dengan sikap Robi
yang terus mengurung diri. Hingga
akhirnya, ia mendapat telepon dari sekolah.
"Bu, anak Ibu sudah tiga hari tidak
masuk. Kami khawatir," kata Pak Yanto di ujung telepon.
Setelah menerima telepon itu, ibunya menghampiri Robi di kamarnya.
"Robi , ibu sudah dengar semuanya dari
gurumu. Ibu tidak marah kalau kamu jujur. Tapi ibu sedih karena kamu memilih
berbohong. Lari dari masalah bukan solusi."
Robi mulai terisak, ini pertama kalinya Robi
menangis setelah Ia masuk ke SMP, karena
selama ini Ia merasa bahwa dirinya paling hebat dan paling jago, tak jarang
tangan dan Kaki Robi melakukan Tindakan kekerasan pada teman-temannya, sehingga
Ia menjadi salah satu murid yang paling ditakuti di sekolah.
"Ibu tahu kamu anak baik. Sekarang, ayo
kita ke sekolah. Minta maaf pada Pak Yanto. Hadapi semuanya," bujuk ibunya.
Dengan berat hati, Robi mengangguk. Besok, ia akan Kembali ke sekolah,
Ia tahu, kejujuran itu pahit. Tapi dusta membawa petaka yang lebih besar. Ia
tak rela masa depannya tergadai hanya karena dusta yang dilakukannya.
Komentar
Posting Komentar