Dibalik Bayang-Bayang Label Guruku

 

Dibalik Bayang-Bayang Label Guruku

Oleh Karnah Haryati

Namaku Nayla. Aku duduk di kelas 10 sebuah SMA negeri yang cukup dikenal di kota kecil kami. Aku bukan anak yang menonjol, tapi juga bukan yang selalu diam. Seperti remaja lainnya, aku punya hobi, mengikuti eskul di sekolah dan aku juga  punya sahabat. Namanya Resti. Sejak SMP kami selalu bersama. Orang bilang kami seperti saudara kembar. Atau terkadang ada juga yang bilang aku dan Resti seperti Upin Ipin dimana Upin berada di situ juga ada Ipin seperti aku dimana ada aku pasti ada Resti. Ulang tahun kami berdekatan, kami sering bertukar hadiah, belajar bersama, saling mengingatkan untuk makan dan juga untuk tidur cepat biar kami bisa menjadi anak Indonesia hebat dan memiliki peluang emas untuk mendapatkan karier yang cemerlang  jika saatnya tiba kami harus mandiri.

Namun sejak masuk SMA, kedekatan kami mulai diperhatikan lebih banyak mata. Awalnya hanya bisik-bisik, kemudian berubah menjadi tatapan curiga hingga akhirnya tudingan. Suatu hari, sepulang sekolah, aku mendengar seorang teman menyindir, "Dua sejoli itu kayaknya nggak bakal bisa pisah deh, ya?" Teman lain menimpali, "Mereka pacaran kali... lesbian gitu."

Hatiku mencelos. Aku tak tahu harus merasa apa. Marah? Bingung? Atau malu? Bahkan aku juga bertanya pada diriku sendiri, benarkah aku lesbian?  Aku hanya menganggap Resti sebagai sahabat. Dia satu-satunya orang yang mengerti aku dan yang bisa aku percaya. Tapi sejak itu, hubungan kami mulai diawasi. Beberapa guru mulai memberi nasihat-nasihat aneh yang tersirat. Bahkan wali kelasku pernah memanggilku dan menanyakan sejauh mana hubungan aku dengan Resti, "Kamu tahu, kan, batas antara pertemanan dan hal yang melampaui batas itu?" Aku bingung sendiri yang mana hubunganku sama Resti yang melampaui batas? Karena aku tak pernah melakukan sesuatu yang menurutku melampaui batas, tapi seolah-olah mereka jauh lebih mengetahui kedalaman hubngan aku dan Resti daripada diriku sendiri.

Aku mencoba menjauh dari Resti. Tapi Resti merasa aku berubah. "Kenapa, Nay? Kamu mulai percaya omongan mereka?" tanyanya dengan mata berkaca-kaca. Aku tak sanggup menjawab.

Beberapa hari setelah itu, kami ulang tahun. Diam-diam aku menyelipkan gelang kecil di loker Resti dengan kartu bertuliskan, "Untukmu, sahabat terbaikku." Tapi hari itu juga aku dipanggil guru BK. "Nayla, kamu sadar apa yang kamu lakukan bisa menimbulkan tafsir negatif?"

Aku bingung. Bukankah memberi hadiah ulang tahun itu hal yang biasa? Sejak kapan perhatian menjadi bukti bahwa aku punya orientasi yang keliru, setidaknya di mata mereka? Aku pulang dengan pikiran kacau. Di rumah, aku mengurung diri di kamarku, napsu makanku hilang, kepalaku sakit, jantungku berdebar lebih kencang. Tapi aku tak  tahu harus mengadu kepada siapa ? Berbicara dengan Bunda ? aku tak mau mengecewakan Bunda, lagipula aku takut nanti Bunda akan berbicara kepada Ayah, bagaimana kalau Ayah marah terus aku diusir dari rumah ? Aku tak bisa membayangkan hidupku akan menjadi seperti apa, namun beberapa hari ini badanku menjadi lemah ya pisikku jadi ikut-ikutan sakit hingga  beberapa hari aku tak masuk sekolah.

Dari Resti aku tahu bahwa yang dipanggil guru BP bukan hanya aku tapi Resti juga bahkan orang tua Resti sudah dipanggil juga ke sekolah, dari mulut Resti aku tahu bahwa orang tua Resti pun sudah menganggap hubungan kami tak wajar dan kami diminta untuk memutuskan hubnngan persahabatan kami. Bagiku tidak masalah aku juga tak mau Resti menanggung beban yang terlalu berat dibenci oleh teman-teman sekelasnya, disindir dan dinyinyirin oleh guru yang masuk ke kelasnya, bahkan dimarahi setiap hari oleh Ibunya .

Tapi semakin keras aku berusaha menjauh dari Resti, semakin kuat pula  Resti menolak, pernah pada suatu siang yang terik Resti meminta kami untuk bertemu di suatu kedai kopi, katanya dia mau bicara, ya sekarang kami sudah jarang bertemu di kelasnya Resti ataupun di taman sekolah, karena ratusan mata sudah siap menerkam kami dan melaporkan pertemuan kami kepada guru BP dan wali kelasku.

Di kedai kopi itu Ia menangis berlinang air mata,Saat itu Resti mengatakan bahwa jika mau hubungan persahabatan kami putus aku harus melalukan sesuatu yang sangat menyakiti Resti misalnya menghinanya secara verbal dengan kata-kata pedas tak terlupakan atau bahkan melakukan Tindakan kekerasan sehingga Resti tak bisa memaafkan aku, Tapi aku tak bisa ! dan aku tak tahu kata=kata apa ataupun Tindakan apa yang akan membuat Resti sakit hati ? akhirnya dalam kebingungan dan keputus asaan akupun pasrah, dalam hatiku terserah orang-orang mau ngomong apa tentang aku, yang penting  aku tak seperti yang mereka katakan. Dan aku yakin gossip tentang aku dan Resti akan mereda seiring berjalanya waktu, jadi setiap hari aku tetap berangkat ke sekolah dengan semangat, mengerjakan semua tugas yang diberikan guru, hingga angan-angan untuk pindah sekolah yang tersirat pada saat awal aku dipanggil wali kelasku  pun lama-lama sirna.

Beberapa hari belakangan ini aku sering menonton di tiktok tentang bola panas yang digulirkan gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang sudah jengah melihat prilaku beberapa siswa yang tak patuh pada guru dan melawan kepada oatau tak taat kepada orang tua, Dia menggulirkan program untuk mendisiplinkan siswa dengan mengirimnya ke  barak militer, Beberapa guru sudah mulai  membahasnya di awal pembelajaran untuk memotivasi kami agar kami tidak masuk barak karena labelnya jelas anak-anak yang masuk barak itu adalah anak-anak yang  tidak patuh kepada orang tuanya , tdak patuh kepada gurunya, sering membuat masalah baik di sekolah ataupun di lingkungan tempat tinggalnya.

Aku tak pernah menghiraukan hal itu karena aku tidak pernah merasa aku termasuk golongan siswa yang seperti itu. Aku akui beberapa kali aku pernah dipanggil oleh wali kelas dan guru BP terkait hubnganku dengan Resti tapi aku sendiri bingung apa yang sebenarnya  terjadi padaku, apakah orientasi seksualku menyimpang seperti yang mereka katakana? Aku tak tak yakin, tapi untuk mengataakan dengan tegas aku normal pun aku gak tahu, yang pasti aku merasa aku perempuan, aku shalat pakai mukena bukan pake sarung dan terkadang aku juga mengagumi laki-laki , entahlah duniaku rasanya selalu berputar-putar tanpa aku tahu dan tanpa ada yang membimbing dan mendampingiku untuk mengenali perasaanku sendiri.

Suatu malam aku baca grup WA, wali kelasku meminta kami untuk mencantumkan alamat kami masing-masing, aku yang ketakutan tanpa pikir Panjang akupun keluar dari grup itu,namun siang harinya aku mengajak Nisa untuk bercerita kepada guru yang aku harapkan bisa membimbingku dan benar-benar memahami aku. Ya dengan diantar Nisa aku mencoba menemui Bu Alena di perpustakaan, Namun aku tak bisa berbicara aku bingung tak  tahu harus mulai dari mana, baru aku mau mengucapkan sepatah kata air mataku sudah tumpah bak air bah tak bisa kubendung walau hanya sesaat, aku sudah tak bisa lagi menyembunyikan duka dan laraku selama ini, namun tangisanku tidak membuat Bu Alena memahami perasaanku, dia hanya menepuk bahuku, sambal menghiburku bahwa sedih itu boleh, marah juga boleh, dan menangispun boleh,  sebagai perempuan apalagi yang bisa kita lakukan saat merasa banyak masalah selain nangis, semua manusiawi katanya. Derasnya yang mengguyur bumi sore itu seperti hujan dihatiku yang tak bisa dihentikan oleh kata-kata manis Bu Alena,Tapi pada  pertemuan itu Bu Alena berjanji untuk mendampingiku agar aku mampu mengenali diriku, perasaanku  bahkan bisa jadi orientasi seksualku. Aku agak lega apalagi dia berjanji untuk membantuku supaya aku tidak dikirim ke barak tentara.

Namun baru beberapa menit aku merasa lega aku diminta ke ruang wakil kepala sekolah bidang kesiswaan. Beliau berbicara panjang lebar soal nilai-nilai norma dan etika. Hingga akhirnya ia berkata, "Sekolah diminta bekerja sama dengan lembaga pelatihan mental. Dan Dinas Pendidikan meminta data anak-anak yang mengalami penyimpangan sosial dan menurut bliau data  siswa sudah  dikirim ke Dinas selanjutnya mungkin anak-anak akan dijemput untuk mendapatkan pelatihan kedisiplinan di barak militer untuk pembinaan. Dan aku  salah satunya. Airmata yang beberapa waktu lalu tumpah dihadapan Bu Alena kini mengalir lebih deras lagi kini aku bukan lagi menangis dalam hati tapi sudah sesenggukan sampai dadaku sesak, ingin rasanya aku berteriak, menjerit-jerit  biar dunia tahu, langitku serasa runtuh, duniaku kiamat, aku tak tahu apa yang harus kukatakan pada ayahku jika aku dijemput paksa ke barak militer.

Dunia serasa runtuh berkali-kali,  Aku dianggap bermasalah hanya karena aku punya sahabat yang kuperhatikan dengan seksama. Karena kami saling menyayangi dalam konteks pertemanan. Apakah semua itu salah? Apakah semua perhatian antar sesama perempuan harus dimaknai sebagai orientasi tertentu?

Aku tak akan pernah  menolak pergi ke barak itu. Tapi di dalam hati kecilku aku mulai mempertanyakan banyak hal. Tentang pelabelan yang begitu mudahnya disematkan,  Tentang prasangka. Tentang bagaimana mudahnya orang menarik kesimpulan tanpa memahami,  dan tentang siapa aku sebenarnya.

Aku masih mencari jawaban. Tentang diriku, tentang apa yang orang lain pikirkan, dan tentang batas-batas yang mereka buat atas nama norma. Tapi satu hal yang aku tahu pasti: aku ingin hidupku tak ditentukan oleh label yang orang sematkan padaku.

Dan aku rasa di barak aku tak akan banyak mengalami kesulitan toh setiap hari aku selalu bangun pagi, beribadah shalat shubuh, membereskan tempat tidur, membantu bunda menyiapkan sarapan, bahkan membantu Bunda menyapu dan membersuhkan rumah sebelum berangkat ke sekolah, demikian juga di sekolah aku masuk kelas tepat waktu, mengerjakan tugas yang diberikan guru juga tepat waktu, aku tahu aku anak yang patuh aku juga atlet paskibra. Sebenarnya yang aku butuhkan bukannya Pendidikan yang represif apalagi coursif, aku hanya butuh pendampingan yang lebih humanis agar aku mampu memahami siapa aku, pendampingan itu aku tak tahu harus aku dapatkan dari mana dan dari siapa, Ketika teman-teman dan guruku begitu mudahnya menghakimiku, semakin aku berpikir semakin aku putus asa, kini aku terus berjalan di Lorong-lorong gelap sambal sesekali  berharap seberkas sinar kan datang memberiku harapan, meski aku tak yakin pelatihan dan Pendidikan ala militer bukan solusi yang tepat, apa boleh buat karena orang tua dan guru yang kuharap menjadi pendamping yang bijak, membuka ruang diskusi, dan mendengarkan dengan empati tak bisa aku dapati.

 Dan mungkin bisa jadi dari sinilah, dari barak Tentara perjalananku memahami jati diri dimulai.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Bukan Cinta Pertamanya

Berani Meraih Mimpi

Bangku di Bawah Pohon Mangga