Berani Meraih Mimpi
1.
Berani
Meraih Mimpi
Damar menundukkan kepala saat melangkah
melewati gerbang sekolah. Seragam putihnya sudah agak kusam, celananya sedikit
kebesaran karena merupakan bekas pemberian tetangganya. Setiap pagi, ia
berusaha sebisa mungkin untuk tidak menarik perhatian teman-temannya, karena
sering kali ejekan datang hanya karena penampilannya yang berbeda.
"Eh, lihat si Damar! Seragamnya nggak
ganti-ganti!" celetuk Rendi, salah satu anak paling berisik di kelasnya.
"Mending ganti baju, Mar! Jangan-jangan
itu seragam dari zaman dinosaurus!" teman-temannya pun tertawa.
“Eh kelamaan kali itu mah seragam dari jaman kolonial “ Gading menimpali.
Damar hanya tersenyum tipis. Ia sudah
terbiasa dengan komentar seperti itu. Sejak kecil, ia diajarkan oleh ibunya
bahwa membalas hinaan hanya akan menambah masalah. Namun, tetap saja, kadang
hatinya terasa perih.
Saat bel istirahat berbunyi, hampir semua
siswa berlari ke kantin. Damar, seperti biasa, memilih jalan lain. Ia melangkah
menuju perpustakaan. Perpustakaan adalah tempat favoritnya, tempat di mana ia
bisa melupakan rasa laparnya, tempat di mana ia bisa berkelana ke dunia lain
lewat buku.
Ia menarik sebuah buku matematika dari rak.
Angka-angka di halaman buku itu terasa seperti teman baginya. Mengerjakan soal
membuat pikirannya lebih tenang, tidak seperti kehidupan di dunia nyata yang
penuh dengan keterbatasan.
Sampai suatu hari, matanya tertumbuk pada
sebuah selebaran di papan pengumuman perpustakaan.
"Olimpiade Sains Nasional - Seleksi
Matematika Tingkat Nasional"
Damar menatap selebaran itu lama. OSN?
Seumur hidup, ia belum pernah berpikir untuk ikut lomba. Tapi jika ini tentang
matematika, mungkin ia punya kesempatan.
"Kenapa tidak aku coba?" pikirnya.
Perjuangan pun dimulai. Keesokan harinya,
Damar mendaftar tanpa memberi tahu siapa pun. Guru yang menerima formulirnya
terlihat sedikit ragu.
"Kamu yakin mau ikut, Damar? Ini lomba
tingkat nasional, lho," tanya Pak Yudi, guru matematika sekaligus
pembimbing OSN di sekolahnya.
Damar mengangguk mantap. "Saya ingin
mencoba, Pak."
Pak Yudi tersenyum kecil. "Baiklah.
Tapi kamu harus berlatih keras. Seleksi tingkat kabupaten akan segera
dimulai."
Sejak hari itu, Damar semakin rajin belajar.
Di rumah, ia mengerjakan soal hingga larut malam dengan pencahayaan seadanya.
Kadang ia harus menyalakan lampu minyak karena listrik di rumahnya sering padam maklum listrik yang mengalir ke
rumahnya bukan pasang KWH sendiri namun
nebeng ke rumah tetangganya.
Di sekolah, teman-temannya mulai
memperhatikan perubahannya. Mereka melihatnya sering membawa buku-buku tebal
dan mencatat sesuatu dengan serius.
"Percuma aja sih, Mar," kata Rendi
dengan nada mengejek. "Ikut OSN nggak bakal bikin kamu kaya. Lagian, kamu
yakin bisa menang?"
Damar tidak menjawab. Ia hanya tersenyum dan
kembali membaca bukunya. Hinaan seperti itu tidak akan membuatnya mundur.
Hari seleksi tingkat kabupaten pun tiba. Damar duduk di bangkunya, menatap
lembar soal yang ada di layar computer di depannya. Ia menarik napas
dalam-dalam, lalu mulai mengerjakan dengan tenang.
Saat hasil diumumkan, seluruh sekolah
terkejut.
"Juara pertama seleksi OSN tingkat kabupaten
adalah… Damar Saputra!" suara Pak
Yudi menggema di aula sekolah.
Semua mata tertuju pada Damar. Beberapa
tampak tidak percaya, yang lain malah terdiam kaget.
Damar hanya menundukkan kepala. Ia berhasil.
Dari
Kabupaten ke tingkat provinsi dan pemenangnya akan mewakili provinsi ke tingkat
nasional.
Ibunya Damar ikut gelisah antara rasa bangga
dan cemas terukir di wajahnya.
Seleksi tingkat provinsi semakin dekat. Damar semakin keras berlatih.
Pak Yudi mulai memberikan bimbingan khusus, dan bahkan meminjamkan beberapa
buku latihan OSN dari tahun-tahun sebelumnya.
Namun, ujian sejati bukan hanya soal
matematika. Di rumah, ibunya semakin khawatir.
"Damar, kamu nggak capek? Ibu takut
kamu terlalu memaksakan diri," kata ibunya suatu malam saat melihat Damar
terus belajar meski matanya sudah memerah karena kurang tidur.
"Tidak, Bu," jawab Damar.
"Aku harus melakukan ini. Kalau menang, aku bisa dapat beasiswa ke SMA favoritku."
Ibunya hanya mengelus kepala anaknya. Ia
bangga, tapi juga takut jika harapan Damar terlalu tinggi.
Di seleksi kabupaten, Damar kembali
mengejutkan banyak orang. Ia meraih peringkat pertama. Begitu pula di tingkat
provinsi. Setiap kemenangan mengibarkan nama sekolahnya semakin tinggi.
Saat ia lolos ke tingkat nasional, berita
tentangnya menyebar luas. Guru-guru mulai memperhatikannya lebih banyak, bahkan
beberapa teman yang dulu mengejeknya kini mulai mencoba berteman.
"Mar, ajarin gue dong!" kata Rendi
suatu hari. Damar tersenyum dan mengangguk.
Saat itulah ia menyadari sesuatu.
Orang-orang akan selalu melihatmu berbeda sampai kau membuktikan bahwa mereka
salah.
Mimpi yang Menjadi Nyata
Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Olimpiade
Sains Nasional diadakan di ibu kota. Damar berangkat dengan penuh semangat,
meskipun dalam hatinya ada sedikit rasa takut dan cemas karena ini kali pertama
Ia menginjakkan kai di Jakarta, Jika bukan karena OSN entah kapan Damar bisa
sampai di tempat ini.
Damar sangat kagum dengan keindahan kota
yang amat memesona, matanya tak lepas memandang Gedung-gedung bertingkat yang
menjulang tinggi ke angkasa, jalanan yang macet padat merayap membuat Ia punya
banyak waktu untuk menikmati dan mensyukuri karunia Ilahi yang telah
memperjalankanya sampai di tempat ini, yang tak pernah diduga sebelumnya bahkan
bermimpi pun tidak pernah.
Di sana, ia bertemu dengan anak-anak jenius
dari seluruh Indonesia. Mereka berasal dari sekolah-sekolah unggulan, memakai
seragam yang bersih dan tampak rapi, yang sangat berbeda dengan dirinya.
Beruntung karena panitia menyiapkan pakaian seragam untuk seluruh peserta lomba
hingga Damar bisa bernapas lega, meski dia menyadari berasal dari kampung
paling tidak pakaian yang Ia kenakan, tas yang Ia bawa semuanya sama dengan
peserta lainya.
Kalau tidak diberi seragam oleh panitia Damar
hanya akan membawa tas yang sudah lusuh karena sudah dia pakai sejak dia duduk
di bangku sekolah dasar, Damar sangat berterima kasih kepada kepala sekolah
yang telah membelikanya sepatu baru karena sepatu miliknya sudah
compang-camping dan tak layak pakai, Kepala sekolah juga mengantarnya Bersama
kepala Dinas Pendidikan, beberapa kabid dan beberapa orang kepala sekolah,
Damar merasa bangga dan bersyukur bibirnya tiada henti berdzikir Subhanallah
Alhamdulilah, Allahu akbar, karena Damar sadar benar berkat rahmat Allahlah
hari ini Ia sampai di tempat ini.
Lomba berlangsung tegang. Soal-soal sulit
menghadangnya. Namun, setiap kali ia merasa ragu, ia mengingat perjuangannya
selama ini—tentang baju lusuhnya, tentang malam-malam panjangnya belajar di
bawah lampu penerangan yang alakadarnya, tentang rasa lapar yang Ia tahan
selama berjam-jam setiap hari di
perpustakaan, tentang mimpi ibunya untuk melihatnya jadi orang sukses.
Saat pengumuman juara dibacakan, Damar
hampir tidak percaya.
"Juara pertama Olimpiade Sains Nasional
bidang Matematika adalah… Damar Saputra dari SMP Negeri 5!" suara pembawa
acara menggema.
Semua orang bertepuk tangan. Seluruh hadirin
bersorak. Pak Yudi menangis haru. Dan
Damar? Ia hanya berdiri di atas panggung dengan mata berkaca-kaca.
Keesokan harinya, saat ia kembali ke
sekolah, suasana berubah total. Kini, anak-anak yang dulu mengejeknya justru
berlari-lari menghampirinya.
"Damar, kamu keren banget!" kata
Rendi.
"Boleh minta tanda tangan?"
celetuk teman lainnya.
Damar tertawa kecil. Ia tak menyimpan
dendam. Ia hanya merasa bahagia karena akhirnya, ia diakui bukan karena
penampilannya, tapi karena kemampuannya.
Tak lama setelah itu, kepala sekolah dari
SMA favorit di kotanya datang menemuinya.
"Damar, sekolah kami ingin menawarkanmu
beasiswa penuh. Kamu layak mendapat kesempatan ini."
Damar hampir menangis. Ini lebih dari
sekadar kemenangan. Ini adalah awal dari masa depan yang lebih cerah.
Hari itu, ia belajar satu hal yang akan ia
ingat seumur hidupnya:
Baju boleh lusuh. Perut boleh kosong.
Tapi pikiran dan impian harus penuh
terisi. Karena sejatinya, ilmu yang akan mengangkat seseorang menuju masa depan
yang cemerlang.
Komentar
Posting Komentar