Bangku di Bawah Pohon Mangga

Bangku di Bawah Pohon Mangga
Bangku di Bawah Pohon Mangga

Setiap pagi, Nara tiba paling awal tiba di sekolah. Setelah menyimpan tasnya di kelas  Ia selalu memilih duduk di bangku tembok  di bawah pohon mangga  . Bangku itu sudah tua, catnya mulai mengelupas, di beberapa bagian sudah ditimbuhi lumut terkadang ada sarang laba-laba  tapi hanya di sanalah Nara merasa sedikit lebih tenang.

Nara jarang bicara. Suaranya kecil, seperti bisikan angin di musim gugur. Teman-temannya sering mengejeknya, “Eh, si Nara si anak bisu datang lagi!” atau “Pakaiannya itu-itu terus, enggak punya baju lain ya?”

Di kelas Nara pun sering dijadikan objek  perundungan  teman-temannya, meski beberapa guru sudah mengingatkan agar tidak ada perundungan di kelas dan sekolah tapi bagi Sebagian anak merundung merupakan sesuatu yang sangat menyenangkan, sehingga tak jarang saat tak  ada guru Nara menjadi objek perundungan yang mengasyikan bagi mereka, saat Nara terisak dan matanya mereh menahan tangis dan kegelisahan serta kekecewaan hatinya pada saat itu teman-temannya akan bersorak gembira seakan usaha mereka untuk menyakiti Nara berhasil.

Saat pulang ke rumah kondisi  rumah pun tak lebih baik. Ibunya, seorang penjual kue keliling, sering memarahinya karena hal-hal kecil, misalnya pada saat Nara tak sengaja memecahkan gelas saat mau minum Ibunya bukan hanya membentaknya namun juga memukul Nra dan mengatakan bahwa dia orang yang ceroboh dantak tahu diri, sehingga Nara merasa bahwa dirinya tak lebih berharga dari sebuah gelas.  Ayahnya seorang pekerja bangunan Ia jarang pulang, dan kalau pun pulangAyahnya  lebih sering tidur dan kalau Nara menangis saat dibentak ibunya Ayahnya ikutan  membentak. Dan mengatakan agar Nara patuh dan taat pada Ibunya. Hanya Neneknya yang menurut Nara sayang sama dia “Kamu harus kuat, Nara. Dunia ini keras!” begitu kata Neneknya sambal memeluk dan mengelus pucuk kepala Nara.Tapi Nenek yang sangat menyayanginya meninggal enam bulan lalu hingga Nara merasa sendirian hidup di dunia ini.  Tapi Nara tahu, hatinya sudah kebal bukan karena kuat, tapi karena terlalu sering terluka hingga dinginya luka dan ungunya duka sudah menjadi bagian dari dirinya.

Hari-harinya sunyi. Ia hampir tak punya teman dekat karena setiap kali ada teman yang bermain ke rumahnya akan dimarahi oleh Ibu atau Ayahnya, demikian juga kalau sesekali Nara main ke rumah temannya Ibu atau Ayahnya akan segera menyusulnya sambal membentak-bentaknya. Hanya ada satu hal bagi Nara yang bisa membuat hatinya agak tenang yaitu menggambar. Ia melukiskan kepedihan dan kepiluan hatinya melalui gambar dan menggambar sudah mampu membuat Ia bertahan sejauh ini.

Di buku gambarnya, Nara menciptakan dunia yang berbeda. Ada gunung memeluk awan, danau yang bisa bicara, dan seekor burung kecil dalam sangkar patah. Burung itu selalu muncul dalam gambar-gambarnya. Ia sendiri tak tahu kenapa. Mungkin karena ia merasa seperti burung itu—ingin terbang, tapi tak tahu ke mana dan harus bagaimana.

Suatu hari, seorang guru baru datang ke kelasnya. Namanya Bu Aina. Wajahnya lembut dan matanya selalu berbinar tampak  seolah  sedang mendengar, meskipun sebenarnya tak ada yang bicara.

Pelajaran yang BuAina sampaikan saat itu adalah menulis puisi, pada awalnya Bu Aina memberikan contoh puisi, memutarkan video orang yang membaca puisi dan menyampaikan materi tentang puisi selanjutnya adalah siswa ditugaskan  untuk menulis puisi,Saat semua murid ribut menulis puisi untuk tugas itu Bu Aina berjalan keliling memperhatiakan pekerjaan siswa-siswanya.  Ia berhenti di meja Nara. “Kamu sudah menulis, Nara?” tanyanya pelan karena Ia melihat buku Nara masih kosong. Nara menunjukkan secarik kertas. Bu Aina membacanya, lalu terdiam.

Di kertas itu tertulis:

Aku ingin pulang, tapi tak tahu ke mana
Rumah terlalu ramai oleh suara -suara yang memekakan telingaku
Sekolah terlalu bising oleh tawa -tawa yang merobek hatiku
Jika aku punya sayap, aku ingin terbang jauh dan tinggi                                                             ke tempat yang tak  ada seorangpun bertanya padaku                                                          mengapa aku diam?

Bu Aina tidak berkata banyak. Hanya mengangguk dan menyentuh bahu Nara sebentar.

Beberapa hari setelah itu, Nara diajak ke ruang bimbingan konseling. Di sana, Bu Aina sudah menunggu bersama Bu Lestari, guru BK.

“Nara,” kata Bu Aina pelan, “Boleh cerita apa pun di sini. Enggak ada yang akan marah, enggak ada yang akan menertawakan. Tempat ini aman.”

Awalnya Nara hanya menunduk. Tapi saat Bu Aina membuka buku gambar miliknya dan memperlihatkan gambar burung dalam sangkar, air matanya jatuh begitu saja. Ia tak berkata apa-apa. Tapi isaknya menjelaskan segalanya.

Bu Aina memang guru yang kreatif tak jarang ia  bisa mengetahui bagaimana kondisi hati murid-mridnya melalui gambar atau puisi yang ditulisnya, bahkan untuk mengetahui apa yang terjadi di sekolahpun bisa diungkap melalui tulisan-tulisan siswa yang entah ditulis secara sadar atau tidak.

Hari-hari berikutnya  Nara mulai rutin mengikuti sesi konseling. Ia merasa bangga dan Bahagia karena masih ada orang yang ingin tahu tentang dirinya yang ingin mendengar ceritanya, perlahan namun pasti wajah Nara mulai berubah tidak lagi murung seperti sebelumnya namun tampak semangat. Ia masih tetap menjadi orang yang pertama tiba di sekolah dan duduk di kursi di bawah pohon mangga namun ada yang berbeda kali ini Ia tak lagi duduk sendiri ada beberapa orang yang menemaninya, Ia mulai membuka diri untuk berdiskusi dengan teman-temannya atau sekadar bercerita tentang buku yang mereka baca.

 Bu Aina juga mulai mengadakan kegiatan “Ruang Aman” di sekolah—tempat anak-anak boleh menggambar, menulis, atau sekadar diam tanpa ditanya-tanya dan tempatnya adalah kursi di bawah pohon mannga itu.

Perlahan, perubahan terjadi juga di sekolah. Beberapa murid yang dulu mengejek Nara mulai ikut kelas “Mendengar Tanpa Menghakimi.” Mereka belajar bahwa setiap anak membawa beban yang tak terlihat.

Sementara itu, Bu Aina diam-diam mengunjungi rumah Nara. Ibunya kaget. “Ada masalah apa, Bu? Nilainya makin turun ya?”

“Bukan itu,” kata Bu Aina tenang. Ia menunjukkan puisi Nara. “Ibu, Nara bukan malas atau bodoh. Dia hanya kelelahan memendam luka.”

Ibu Nara terdiam lama. Untuk pertama kalinya, ia membaca dengan saksama isi hati anaknya. Wajahnya kaku, matanya berkaca.

“Saya cuma ingin dia jadi kuat, karena hidup ini keras ” bisiknya akhirnya.

“Cinta juga membuat anak menjadi kuat, Bu. Apalagi kalau dunia di luar tidak ramah.”

“Saya membentak Nara dan memukul Nara juga karena saya mencintainya Bu, saya ingin Nara jadi anak yang sukses kelak, untuk sukses butuh kekuatan”

‘Ibu, menurut Ibu adakah cara lain untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang Ibu kepada Nara selain membentak dan memukulnya?

Hening, Ibu Nara tak berkata sepatah katapun hanya butiran bening yang tiba-tiba meluncur deras dari sudut matanya tak terbendung.

Hari demi hari, suasana di rumah Nara mulai berubah. Ibunya mulai mengurangi bentakan. Ia bahkan membantu Nara menyiapkan alat gambar. Ayahnya, yang awalnya kaku, suatu hari pulang membawa pensil warna. Tak banyak kata. Tapi itu cukup membuat hati Nara hangat.

Beberapa bulan kemudian, Nara mengikuti lomba Bulan Bahasa yang setiap tahun digelar oleh MGMP Bahasa Indonesia Kabupaten kategori  menulis cerpen. Judul ceritanya: Bangku di Bawah Pohon Mangga. Kisah tentang seorang anak yang tak bicara, tapi akhirnya bisa menyelamatkan dirinya karena satu orang guru yang  mau mendengar.

Nara berhasil memenangkan lomba itu dan menjadi juara pertama

Di acara penganugerahan, ia berdiri di depan ratusan orang. Lutut dan tangannya gemetar, tapi suaranya jelas.

“Aku dulu takut bicara. Takut dianggap lemah, takut ditertawakan.bahkan saat namaku dipanggil aku merasa seolah-olah disambar halilintar, jantungku berdebar lebih kencang, keringat dingin membasahi seluruh tubuhku, aku akan menggigil padahal matahari sedang terik-teriknya, aku takut sekali, takut di sebut orang aneh, aku memilih diam duduk di bawah pohon mangga daripada pergi ke kantin bersama teman-teman.  Tapi hari ini aku tahu, diam menyendiri, menarik diri dari pergaulan bukan cara yang tepat untuk menyembuhkan luka batin yang terlanjur menganga, kita harus bicara kalau tidak melalui suara bisa melalui karya baik tulisan ataupun lukisan, kita butuh suara hati kita  didengar. Orang tua dan guru harus mampu menuntun kami bukan hanya sekedar memarahi, memaki ataupun menghakimi, Aku harap setiap sekolah punya ruang aman. Karena setiap anak punya cerita. Dan kadang, mereka hanya butuh satu orang untuk percaya.”

Tepuk tangan bergemuruh. Bulir-bulir bening membasahi pipi Bu Aina hatinya basah, Ia bangga pada Nara dan pada usaha semua guru di sekolah untuk menciptakan ruang aman.

Sejak hari itu, bangku di bawah pohon mangga tak lagi sunyi. Tak lagi tampak lumut hijau atau sarang laba-laba  karena banyak anak duduk di sana, menulis, bercerita, menggambar, tertawa,Ceria.  Bangku itu jadi simbol: bahwa sedingin apapun luka dan seungu apapun duka dan trauma yang membelenggu  hati  bisa sembuh, jika ada yang mau peduli.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Bukan Cinta Pertamanya

Berani Meraih Mimpi