Aku Bukan Cinta Pertamanya

 

Ternyata Aku Bukan Cinta Pertamanya

 

Arya adalah paket lengkap: tampan, pintar, supel, dan yang paling penting ketua OSIS di SMP Cendekia Mandiri. Ia tidak hanya sering jadi MC acara sekolah, tapi juga langganan juara pidato dan lomba debat. Tak heran kalau para cewek di sekolah sering membicarakannya lebih dari mereka membahas soal ulangan matematika atau projek P5.

Salah satu yang diam-diam mengagumi Arya adalah Aku, Namaku Hana  siswi pendiam tapi manis dari kelas VIII-C, (Pede aja kali ) Aku tak pernah menyangka sedikitpun  kalau suatu hari Arya akan menyapaku dan bahkan PDKT denganku.

“Sorry, namamu Hana kan, Eh, kamu kelas berapa?”

"Aku suka caramu jawab soal waktu pelajaran PKN tadi. Kamu beda," kata Arya suatu siang, saat kami  bertemu di perpustakaan. Aku kaget setengah mati  nyaris menjatuhkan buku yang sedang  kupegang, hidungku bukan hanya terasa mengembang tapi seolah hendak terbang.

Dari situlah semuanya bermula. Kami  mulai sering belajar bareng, saling kirim pesan lewat chat sekolah, dan bahkan bareng pas lomba cerdas cermat PAI. Seisi sekolah gempar saat kami resmi jadian. Semua cewek yang tadinya berharap jadi "Mbaknya ketua OSIS" langsung pasrah dan pindah haluan ke cowok-cowok ekskul basket. Demikian juga cowok-cowok yang beberapa hari lalu masih berusaha mengejar-ngejar dan mendekatiku mereka langsung lari tunggang langgang seolah tahu diri bahwa mereka bukan tandinganya Arya.

Selama beberapa bulan, semuanya terasa manis bagiku. Aku  merasa seperti tokoh utama di dalam drama korea, pacaran sama cowok idola, dijemput di depan gerbang sekolah, dan dibawain roti isi tuna ke kantin.

Namun, lama-lama aku penasaran apakah Arya punya rasa yang sama denganku, apakah aku seperti dia ? dia cinta pertamaku dan akupun cinta pertamanya? suatu hari saat kami duduk di bangku taman belakang sekolah, aku memberanikan diri bertanya.

“Yah… Arya,” kataku  pelan setengah ketakutan
“Hm?” jawab Arya sambil mengupas jeruk dengan tenang.

“Aku mau tanya sesuatu... Tapi janji jawab jujur ya.”

Arya menoleh dengan ekspresi serius. “Tanya aja, Hana.”

“Kamu pernah bilang… aku spesial buat kamu,” Aku mulai gugup, “aku cuma mau tahu… aku ini cinta pertamamu, kan?”

Arya diam sejenak. Mungkin sekitar tiga detik, tapi bagiku itu terasa seperti tiga tahun. Lalu Arya menjawab, dengan wajah datar dan penuh kejujuran:

“Bukan.”

“Eh?” Aku refleks tertawa kecil. “Maksudnya, gimana?”

“Ya bukan,” Arya mengunyah jeruk. “Kamu bukan cinta pertamaku.”

Deg.

Aku mulai bingung antara ingin menangis atau melempar kulit jeruk ke muka Arya. Tapi karena aku anak baik, aku berusaha menahan diri dan hanya mengangguk pelan.

“Oh... ya udah, nggak apa-apa kok.” Tapi kemudian aku  memberanikan diri bertanya, “Kalau gitu... aku cinta keberapa?”

Arya berpikir sebentar, lalu mengangkat empat jari. “Kalau nggak kelima, ya keempat. Tapi kamu beda.”

“Beda gimana?” Aku  berusaha tetap tersenyum walau batinku  teriak, “Aku Cuma urutan kelima katamu ?”

Arya tersenyum polos. “Ya kamu yang paling tahan sama aku.

Keesokan harinya, Aku  datang ke sekolah dengan wajah tanpa ekspresi. Teman-temanku bertanya, tapi aku  hanya menjawab bahwa Aku habis dapat pencerahan.

Arya tetap seperti biasa: memimpin apel pagi, menyusun kegiatan OSIS, dan membagi senyum ke semua penjuru sekolah. Tapi kali ini, Aku mulai menyadari satu hal penting.

Cinta pertama bukan soal siapa yang kita temui dulu, tapi siapa yang membuat kita belajar paling banyak.

Dari Arya, Aku  belajar bahwa cinta bukanlah soal jadi "yang pertama", tapi soal bagaimana kita menghargai diri sendiri. Dan bahwa jujur itu penting, tapi tahu waktu untuk jujur itu lebih penting.

Beberapa minggu kemudian, Aku memilih mengakhiri hubungan kami dengan elegan.

“Kenapa?” tanya Arya dengan polos.

Hana tersenyum. “Karena aku sadar, aku bukan cinta pertama kamu... tapi aku harus jadi yang pertama mencintai diriku sendiri.”

Arya terdiam. Kali ini, dia yang merasa seperti ditinggal kereta mungkin.

Saat Aku melangkah  pergi, dengan penuh percaya diri dan siap menghadapi cinta yang berikutnya, dengan hati yang lebih Tangguh tentunya tiba-tiba Arya menarik tanganku,”Hana bisa tunggu sebentar, soal kamu cinta kelimaku, aku bisa jelasin”

Aku diam. Nafasku berat. Saat ini aku merasa seperti karakter utama drama Korea yang baru saja dikhianati… padahal belum-belum juga dibikin soundtrack-nya.

Aku  mengangguk, sedikit takut, namun lebih banyak merasa  penasaran.

Arya menatapku , kali ini lebih serius dari biasanya.

“Cinta pertama aku... ya Allah. Karena laki-laki itu harus menomorsatukan Tuhannya dulu. Kedua, Rasulullah. Ketiga, negaranya. Keempat, ibu dan ayahnya. Nah, baru kelima... istrinya. Atau kalau belum menikah, ya orang yang disayang.”

Aku  menatap Arya, mataku bukan  melebar. Kaget. Bingung. Tapi juga... kagum.

“Dan aku juga nggak mau jadi cinta pertamamu,” lanjut Arya sambil tersenyum, “karena kamu juga harus mencintai Allah dulu, Rasulullah, orang tuamu... baru nanti, suamimu. Dan aku  belum tentu jadi suamimu, kan?”

Aku tidak bisa berkata-kata. Tapi dalam diam, ada satu rasa yang muncul: hormat. Dan... hangat.

“Jadi,” Arya menyenggol pundakku pelan, “meski kamu ada di  urutan kelima, tapi aku nggak main-main. Aku sayang kamu dengan caraku. Yang tahu batas, yang tahu tujuan, yang tahu arah.”

Aku pun tertawa kecil malu pada diriku sendiri . “Iya juga sih. Kalau kamu nomor satu, aku bisa-bisa nyembah kamu.”

“Jangan!” Arya mendadak panik. “Aku belum siap jadi berhala!”

Kami berdua tertawa. Meledak di antara deretan meja kantin. Beberapa teman menoleh, penasaran, tapi mereka tak peduli.

“ Gimana tetap mau putus denganku?” tanyanya

Aku menggeleng”Nggak” sahutku cepat.

Di saat anak-anak lain sibuk mencari ‘siapa yang pertama mencintainya, Arya dan Aku  justru belajar menyusun prioritas: mencintai yang Maha Kekal lebih dulu, sebelum yang fana.

Kami  tidak tahu apakah akan terus bersama atau tidak. Tapi satu hal pasti, kami  sudah saling menguatkan,  bukan untuk saling memiliki, tapi untuk saling memperbaiki diri.

Dan bagiku, Arya bukan hanya lelaki pertama yang aku sayangi setelah ayahku, tetapi Arya
 adalah  orang  pertama yang mengajariku dan  membuatku mengerti arti cinta yang benar.

 

 

 

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berani Meraih Mimpi

Bangku di Bawah Pohon Mangga